Di usianya yang ke-11 (lahir 1 Desember 2008), NURI sudah banyak dilirik berbagai kalangan; baik dari pemerintah, pelaku koperasi, akademisi bahkan praktisi ekonomi lainnya. Dari Pemerintah misalnya, NURI sudah dua kali mendapatkan penghargaan nasional (2016 dan 2018) sebagai Koperasi berprestasi dengan katagori yang berbeda. Dari sesama pelaku koperasi, NURI sudah mulai sering dijadikan tempat belajar sesama koperasi baik dalam format studi banding maupun studi tiru. Sedangkan dari kalangan akademisi, NURI kerapkali dijadikan objek penelitian.
Kehadiran Koperasi NURI kini mulai terasa. Apalagi di kalangan santri alumni pondok pesantren. Dulu, yang namanya santri tidak pernah membayangkan akan mengelola usaha sektor keuangan dengan aset milyaran rupiah. Santri seakan hanya bisa menjadi penonton dalam sektor ekonomi. Padahal, potensi ekonomi santri sesungguhnya sangat besar. Karena secara kuantitas, jumlah santri di Indonesia dan khususnya di Madura sangat dominan. Hanya saja, selama ini, di sektor ekonomi, santri lebih banyak dijadikan objek daripada berperan menjadi subjek.
Banyak kalangan santri yang mengeluh sulitnya dalam permodalan untuk memulai sebuah usaha. Akses ke lembaga keuangan seperti perbankan terasa berat. Selain karena belum terbiasa dengan administrasi yang agak ribet, stigma bank mengelola dana berbau riba menjadi faktor keengganan sebagian besar kalangan santri. Bahkan, sebagian orang awam, permodalan mereka banyak terjerumus ke dalam perangkap rentenir, yang lagi-lagi sangat kental aroma ribawinya.
Dengan demikian, kehadiran NURI yang murni dari kalangan santri dengan konsep syariah terasa bagai oase di tengah gurun pasir. Santri tiba-tiba menjadi pelaku dunia ekonomi tanpa dihantui dengan riba. Di sisi lain, NURI juga mengerti bahwa santri tidak mau terlalu ribet soal administrasi. Maka, kemudahan dalam pelayanan dan didekatkan dengan kultur santri menjadi strategi tersendiri. Kemudahan yang dimaksud salah satunya adalah kehadiran pengelola NURI yang juga dari kalangan mereka, yang mampu menjabarkan dua kepentingan (kepentingan anggota dan kepentingan koperasi) dengan bahasa yang dimengerti oleh mereka.
Selain itu, dari awal NURI sangat sadar bahwa modalitas usaha itu bukan hanya modal dana (uang) saja. Maka meskipun dengan modal uang yang sangat sedikit, sekelompok alumni pondok pesantren Banyuanyar yang tergabung dalam wadah PERADABAN (Persatuan Alumni Darul Ulum Banyuanyar) memulai koperasi NURI ini. Modalitas yang dimaksud adalah pengejawantahan empat modalitas yang pernah diteorikan oleh Pirre Bourdue, yaitu Modalitas simbolik, modalitas budaya, modalitas sosial, dan modalitas ekonomi. Ternyata keempat modalitas ini sangat berkontribusi besar di NURI dalam menjalankan usahanya selama ini.
Modalitas simbolik yang dimiliki oleh NURI adalah simbol Pondok Pesantren Banyuanyar dan Kiai Muhammad Syamsul Arifin selaku pengasuhnya. NURI yang lahir dari kalangan alumni pondok pesantren ini dengan disupport langsung oleh Kiai Muhammad Syamsul Arifin menjadikan NURI memiliki modal besar yang langsung berpengaruh kepada masyarakat luas, terutama di kalangan alumni pondok pesantren Banyuanyar. Dari segi usia, Pondok ini telah berlangsung lama, lebih dua abad lamanya. Menurut sejarah, pondok ini berdiri pertama kali pada tahun 1787 Masehi. Tentu saja, Pondok ini telah melahirkan ribuan bahkan ratusan ribu alumni. Karena setiap tahun, Pondok ini paling sedikit melepaskan 500-an alumni.
Dari sisi modalitas budaya, santri memiliki budaya belajar yang sangat kuat. Budaya ini muncul dari rasa penasaran dan keingintahuannya terhadap segala sesuatu yang besar. Meskipun di bidang ilmu ekonomi terbilang masih lemah, rasa ingin tahu dan kemauan untuk belajar itu sangat tinggi. Memang pada saat NURI berdiri, para pengurus dan pengelola koperasi ini, secara basic keilmuan, tidak ada satupun yang memiliki basis ilmu ekonomi. Meskipun demikian, ada satu orang yang mempunyai pengalaman menjadi pengelola BMT Al-Azhar bentukan beberapa pondok pesantren besar di Pamekasan beberapa waktu yang silam. Namun, lembaga ini (BMT Al-Azhar) gagal, meskipun sempat bertahan beberapa puluh tahun tetapi semua asetnya habis entah kemana? Semangat belajar inilah yang sesungguhnya terpatri, dari kegagalan itu pengurus NURI tidak patah arang. Setiap tahun pengurus NURI mengunjungi koperasi-koperasi yang sudah eksis dan sukses sebagai tempat belajar. Inilah modalitas budaya yang menurut penulis menjadi modal penting eksistensi dan kesusksesan NURI.
Sedangkan dari aspek modalitas sosial, tentu saja jumlah alumni dan sosial masyarakat Madura yang sangat peduli terhadap pesantren menjadi modal kuat bagi NURI dalam menjalankan usahanya. Ada 23.300 potensi dari alumni pondok pesantren Banyuanyar jika dihitung dari sejak berdirinya, itupun kalau dihitung rata-rata alumni tiap tahun dengan minimal 100 orang, di mana usia pondok pesantren ini telah berdiri 233 tahun. Padahal sejak tahun 2000-an lulusan pondok pesantren ini tidak kurang dari 500 orang setiap tahunnya. Ini belum lagi menghitung potensi orang-orang yang terkait langsung dengan alumni, seperti orang tua alumni, mertua alumni, saudara alumni, paman alumni dan tetangga alumni. Maka jumlahnya akan sangat fantastik. Ini adalah modal sosial yang secara riil dimiliki oleh NURI.
Dari ketiga modalitas NURI di atas, maka modal ekonomi menjadi tidak terlalu penting. Oleh karena itu, meskipun NURI pada awalnya hanya memiliki modal Rp. 45.000.000 (empat puluh lima juta rupiah) dengan patungan saham masing-masing pengurus PERADABAN minimal Rp. 500.000 (lima ratus ribu rupiah), NURI bisa berjalan dengan baik. Bahkan tumbuh dengan pesat dan perolehan asetnya terus melonjak berlipat-lipat setiap tahunnya. Bahkan saat ini NURI telah mengelola ratusan milyar rupiah sebagai modal ekonominya.
Namun, tantangan NURI untuk terus eksis dan maju tidaklah mudah. Merubah budaya santri yang relatif kurang profisional dalam mengelola bisnisnya menjadi lembaga keuangan yang profisional menjadi tantangan yang sangat berat. Tetapi, profesionalitas ini mau tidak mau harus diambil oleh NURI. Karena pengalaman-pengalaman lembaga keuangan sebelumnya yang dikelola oleh kalangan santri banyak yang gagal. Faktornya adalah soal profesionalitas dan pengawasan. Santri cenderung abai terhadap kebutuhan profisionalitas dalam membangun usahanya. Maka dari itu, NURI terus berbenah dan berkomitmen untuk patuh terhadap berbagai regulasi, baik yang bersumber dari pemerintah melalui Kementrian Koperasi dan UMKM, maupun dari perpajakan. Di sisi lain, NURI juga memperkuat regulasinya sendiri dengan semangat PAD (Perubahan Anggaran Dasar) dan ART (Anggran Rumah Tangga)nya serta Peraturan-peraturan Khusus (Persus) yang mengatur secara internal kelembagaan.
Jurus-jurus ini ternyata cukup efektif dalam membangun kepercayaan dan kesehatan koperasi NURI. Dari tahun ke tahun, NURI berhasil menambah perolehan aset dan omsetnya secara signifikan. Kepercayaan publik kepada NURI terus mengalir, terutama di kalangan santri sendiri. Hal ini terbukti sangat nyata pada penghimpuna modal sendiri. Bahkan, sampai saat ini, NURI hanya mengandalkan modal usahanya dari anggotanya sendiri dan tidak ada sepeserpun modal pihak ketiga. Mungkin, beberapa kalangan ada yang mencibir, sifat eksklusif semacam ini hanya membelenggu NURI yang membuatnya akan sulit maju. Ternyata NURI mampu membuktikan bahwa apa yang sebagian orang lihat sebagai kelemahan, tapi NURI justru melihatnya sebagai kekuatan. Namun demikian NURI tetap mempertahankan segala sesuatu yang dianggap sebagai kekuatan dan sudah jamak diyakini banyak orang. Mungkin inilah cara NURI menerjemahkan motto yang populer di kalangan santri: المحافظة على القديم الصالح والأخذ بالجديد الأصلح (merawat yang baik dari tradisi lama, namun tetap berkreasi dengan hal-hal baru yang lebih baik).
Eksistensi koperasi NURI tentu saja bukan hanya factor pengelolaan. Ada komponen lain yang tidak kalah penting dan juga menjadi factor penentu keberhasilan NURI, yaitu keberadaan anggota dan pengawas. Sebagaimana maklum diketahui, bahwa koperasi itu terdiri dari tiga komponen penting; Anggota, Pengurus dan Pengawas. Masing-masing komponen ini memiliki peran yang berbeda. Kalau strategi, pengelolaan dan kebijakan menjadi domain pengurus, maka pengawas mengambil peran sebagai pemberi nasihat serta melakukan control dan pengawasan. Sedangkan anggota berkedudukan sebagai pemilik dan pengguna jasa ternyata memiliki ruang lingkup yang lebih besar daripada pengurus dan pengawas. Nah, masing-masing peran itu terus dijaga dan dirawat di NURI dengan baik.
Semoga, ikhtiyar NURI ini terus berlangsung ke depan. Bahkan lebih dari itu, Kehadiran NURI ke depan harus lebih baik lagi. Artinya, NURI dapat mengevaluasi peran apa yang belum tergarap. Pelayanan apa yang harusnya ditingkatkan dan Usaha apa yang lebih bermanfaat. Karena usaha NURI tidak boleh hanya berfikir keuntungan (profit oriented), tetapi lebih dari itu NURI harus berpikir akan manfaat (benefit oriented) yang harus diterima dan dirasakan oleh umat, lebih-lebih para anggotanya sendiri. Karena berpikir profit saja hanya menjadikan NURI egois dan akan sangat kapitalis. karena dengan begitu, NURI hanya akan berpikir bagaimana keuntungan (profit) itu terus hadir dan meningkat tanpa memikirkan manfaat apa yang didapat oleh pihak lainnya. Dengan hanya memikirkan keuntungan (profit), yang terjadi adalah karyawan dan pengelola akan sengsara demi keuntungan itu, bahkan anggota pun akan terkena imbasnya. Atas nama keuntungan (profit) tadi, ujroh menjadi tinggi, dan NURI akan acuhkan semua aspek yang ada pada masing-masing anggota. Dengan istilah lain NURI menjadi tidak peduli terhadap apapun yang terjadi, selain keuntungan (profit) itu sendiri.
Dengan demikian, NURI dalam membangun usahanya akan berpikir ganda: profit dan benefit secara simultan. Dari sector simpan pinjam dan pembiayaan syariah, NURI harus juga menanyakan kepada anggota yang membutuhkan pinjaman atau pembiayaan, akan digunakan untuk apa dana itu? Dengan begitu, NURI akan tahu manfaat apa yang akan terjadi atas pinjaman dan pembiayaan yang akan dilaksanakan. Dan, tentu saja, NURI tidak boleh memberikan pinjaman dan pembiayaan kepada anggota yang usahanya jelas-jelas membahayakan atau dilarang oleh syariah Islam karena pasti ada bahaya (kemudharatan) di dalamnya. Selain itu, mengetahui alasan peminjaman dan pembiayaan itu juga akan menentukan jenis akad apa yang relevan.
Selain profit dan benefit yang simultan, NURI juga mengembangkan Baitul Maal NURI (BMN) yang hanya berpikir benefit tanpa profit. Kehadiran BMN merupakan ujung tombak NURI dalam memberikan kontribusi nyata kepada umat Islam dari sisi social. BMN hadir dengan berbagai program social, seperti santunan anak yatim, pemberian rumah barokah bagi fakir miskin yang rumahnya tidak layak huni, santunan janda dan duda yang sudah tidak lagi produktif serta kegiatan lainya. Tentu saja, masih banyak yang belum tersentuh oleh BMN, selain karena usianya yang masih baru dua tahun (berdiri tahun 2018), partisipasi dana social yang berupa ZISWAF (Zakat, Infak, Sedekah dan wakaf) belum begitu banyak terhimpun. Seiring perjalanan waktu, eksistensi BMN akan menjadi tempat yang nyaman bagi siapa saja yang punya kepedulian social tinggi untuk berdonasi bersama BMN.
Harapan demi harapan itu akan terus mengalir dari semua kalangan, apabila NURI tetap konsisten dan istiqomah dalam menjalankan usahanya dengan prinsip syariah yang mengedepankan profit dan benefit tadi.